
Kebanyakan konsumen pasti pernah mendengar tentang minyak kelapa sawit – atau paling tidak pernah mengonsumsi produk hasil olahan minyak kelapa sawit. Hampir setengah produk kemasan yang beredar di pasaran, seperti cokelat, deodoran atau lipstik, serta pangan ternak dan bahan bakar nabati mengandung komoditas ini.
“Minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak nabati yang paling banyak digunakan dan diproduksi di dunia, memberikan kontribusi sebesar 40% dari total perdagangan minyak nabati dunia,” kata Beatriz Fernandez, Manajer di UN Environment Programme (UNEP) bekerja sama dengan GCRF Trade, Development and the Environment Hub (TRADE Hub). Fernandez memberikan pernyataan tersebut dalam dialog tingkat tinggi yang diadakan secara hybrid di Jakarta pada 30 Agustus 2022, untuk membahas masalah dan potensi solusi bagi perdagangan minyak sawit berkelanjutan di Indonesia, sehubungan dengan krisis saat ini.
Kenapa minyak kelapa sawit sangat populer? Ada beberapa alasan di balik popularitas minyak kelapa sawit, seperti komoditas ini memiliki harga relatif murah, tidak berbau dan tidak memiliki rasa yang kuat, serta juga sangat produktif; per hektar, kelapa sawit menghasilkan panen sekitar empat kali lebih banyak dari bunga matahari atau rapeseed, dan 10-15 kali lipat dari pohon kelapa. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, menyumbang sekitar 60% dari perdagangan global, dan sektor ini memberikan kontribusi penting terhadap pembangunan nasional dan ekonomi. Tetapi ada masalah keberlanjutan yang berkaitan dengan budidaya kelapa sawit, termasuk deforestasi, degradasi dan hilangnya lahan gambut, serta kebakaran hutan dan lahan: isu lingkungan ini harus ditangani karena memberikan dampak besar bagi Indonesia, negara dengan wilayah hutan alam terbesar dan yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
Tetapi, minyak kelapa sawit bukanlah masalah utamanya. “Selama masih ada permintaan minyak goreng, minyak kelapa sawit merupakan jawaban paling logis untuk permintaan tersebut,” jelas Direktur Pelaksana Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR–ICRAF), Robert Nasi. “Mengganti permintaan tersebut dengan tanaman yang kurang produktif bukan solusi yang tepat, karena akan memakan lebih banyak lahan, dan yang menyebabkan lebih banyak deforestasi. Dan permintaan akan minyak kelapa sawit diprediksi akan terus meningkat, dari 199,1 juta metrik ton pada 2020, menjadi 258,4 metrik ton pada 2026, menurut Musdhalifah Machmud, Wakil Direktur Pangan dan Agribisnis di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Indonesia.