KOMPAS, January 22, 2003
Oleh: David Kaimowitz (CIFOR) dan Mubariq Ahmad (WWF)
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkesinambungan merupakan salah satu kunci pembahasan dalam diskusi antara pemerintah RI dengan negara-negara donor dalam CGI (Consultative Group on Indonesia). Pada pertemuan sebelumnya pemerintah RI telah berjanji untuk mengambil langkah keras agar para pengusaha kehutanan mengelola hutan dengan berkesinambungan, sebagai imbalan atas pinjaman dan hibah.
Salah satu langkah terpenting adalah penutupan perusahaan-perusahaan kehutanan yang berhutang dalam jumlah besar. Dan sampai kini mereka gagal membayar dana yang dipinjamkan perbankan Indonesia. Yang pada gilirannya berhutang pada pemerintah dan bangsa Indonesia. Tindakan ini akan mengurangi kelebihan kapasitas perusahaan kilang gergaji, perusahaan bubur kayu dan kertas, serta perusahaan kayu lapis yang diindap sektor industri kehutanan.
Kita masih berharap bahwa pemerintah akan menepati janjinya ini. Setelah lima tahun ini menangani masalah hutang milyaran dolar yang ditanggung industri kehutanan ini, krisis tetap saja belum tertanggulangi. Jika pemerintah hendak memenuhi janji mereka pada CGI, langkah-langkah harus lebih diambil guna merestrukturisasi baik hutang maupun industrinya sendiri dalam mengimplementasi pengelolaan hutan yang baik.
Semua mengetahui bahwa kini marak terjadi pembalakan tanpa ijin, tanpa perencanaan dan tanpa pengawasan. Pelaku bisnis dengan jaringan koneksi yang luas dan politisi terlibat dalam pembalakan ilegal. Mereka bebas tanpa sangsi walau sudah diungkapkan secara gamblang oleh Departemen Kehutanan dan LSM terkemuka yang bertanggungjawab. Bahkan Rabu lalu pihak TNI mengakui bahwa jajarannya ada yang terlibat dalam kegiatan ini.
Departemen Kehutanan pun telah mengungkapkan bahwa kapasitas industri perkayuan kita sudah melampaui pasokan kayu legal. Telah diduga bahwa agar dapat tetap berproduksi dalam kapasitas penuh maka kebanyakan perusahaan tersebut secara sengaja maupun tidak telah memanfaatkan pasokan kayu ilegal.
Salah satu aspek yang harus diangkat oleh pendonor di pertemuan CGI adalah bagaimana BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) telah memperburuk masalah kelebihan kapasitas industri pekayuan ini. Apa yang luput dari pengamatan masyarakat adalah melalui mandat dalam restrukturisasi perbankan, BPPN sekarang memegang peran penting dalam kelestarian hutan Indonesia.
Ini semua memang terbentuk ketika masa Orde-Baru, dimana konglomerat mendapatkan pinjaman milyaran dolar dari perbankan Indonesia untuk mengembangkan bisnis mereka. Termasuk didalamnya bisnis kehutanan. Ketika Krisis Ekonomi Asia mencapai puncaknya, perusahaan-perusahaan ini tidak mampu atau tidak mau membayar hutangnya ke pihak bank. Selanjutnya pemerintah RI pun, guna melindungi uang para nasabah bank memberikan dukungan dana – yang berasal dari dana masyarakat dan dari negara donor. BPPN pun dibentuk untuk membantu restrukturisasi perbankan serta mengupayakan para konglomerat membayar hutang mereka.
BPPN bekerjasama dengan para bank dan perusahaan yang berhutang untuk memformulasikan paket pembayaran yang memungkinkan. Walau BPPN telah berupaya namun tetap saja hanya sedikit perusahaan yang membayar kembali hutang mereka.
BPPN berkilah bahwa mereka sudah tidak bisa berbuat lebih banyak lagi akibat dari lemahnya undang-undang kepailitan di Indonesia. Beberapa pengamat di media massa menilai bahwa BPPN terlalu dekat dengan perusahaan-perusahaan penghutang ini dan mereka mudah dimanipulasi.
Bahkan BPPN kini hendak lepas tangan dari perkara ini dan memutihkan kerugian pemerintah. Caranya dengan tidak lagi berupaya mendapatkan seluruh 100 persen piutang pemerintah. Hanya 15 hingga 20 persen saja yang diharapkan dari penjualan hutang pada perbankan.
Jika argumentasi ini dikaji lebih dalam lagi maka timbul pertanyaan. Siapa yang akan membeli hutang pada suatu negara dimana para kreditor tidak mempunyai jalan hukum untuk memaksakan pembayaran dari para penghutang? Jawabnya ternyata, bank berharap perusahaan yang berhutang akan membeli hutang mereka yang sudah berkurang ini ditambah bunganya untuk menghapuskan hutang dari neraca mereka. Perusahaan akan melakukan ini karena dengan sendirinya kemudian mereka pun dapat meminjam kembali ke perbankan.
Pada kenyataannya yang dilakukan BPPN adalah mengijinkan perusahaan-perusahaan perkayuan untuk tetap menjalankan usaha mereka yang akan tetap mempertahankan kondisi kelebihan kapasitas industri perkayuan. Kelebihan yang menekan kapasitas pasokan kayu legal yang mempertahankan kesinambungan hutan Indonesia. Juga menjadi perhatian adalah perusahaan yang lepas dari beban hutang ini akan meneruskan praktek usaha yang kepatutan hukumnya dicurigai. Bahkan ada kemungkinan mereka meminjam dana lagi untuk investasi peralatan usaha. Ini akan meningkatkan lagi kelebihan kapasitas industri perkayuan.
Berbagai pihak tentunya berargumentasi bahwa ini sia-sia saja. Hutang sudah lama dan sudah tidak bisa bertindak apapun. Namun sekarang ini ada suatu perusahaan yang sedang mencari kredit ekspor pemerintah dan sedang mencari investor untuk membangun perusahaan bubur kayu dan kertas di Kalimantan Selatan. Hutan Indonesia tidak lagi membutuhkan perusahaan bubur kayu dan kertas. Solusinya adalah mereduksi kapasitas industri perkayuan, bukan menambahnya.
Berbagai organisasi, termasuk Departemen Kehutanan, WWF- Worldwide Fund for Nature, CIFOR –Centre for International Forest Research, dan IMF – International Monetary Fund dan World Bank, meyakini bahwa pemerintah seharusnya menutup perusahaan yang tidak memiliki pasokan kayu yang berkeseninambungan, atau yang secara finansial tidak bisa dipertahankan. BPPN berkilah bahwa masalah ini adalah tugasnya Departemen Kehutanan. Padahal, Departemen Kehutanan melakukan hal ini sebagai bagian dari komitmen pemerintah terhadap CGI untuk membangun landasan industri kehutanan yang berkesinambungan.
Namun BPPN telah bertindak sendiri tanpa kesesuaian dengan badan serta lembaga pemerintah lainnya. Sejak dibentuk BPPN telah mengabaikan dukungan dari Departemen Kehutanan, institusi penelitian, dan organsasi non pemerintah untuk melakukan asesmen bisnis yang tepat atas perusahaan kehutanan yang mereka tangani.
Kebijakan BPPN ini karena mereka dituntut untuk mempercepat upayanya karena pemerintah membutuhkan dana untuk menurunkan defisit fiskal. Menjual hutang industri kehutanan berapa pun menjadi lebih baik daripada tidak menjualnya sama sekali.
Seandainya pemerintah menutup perusahaan yang paling parah hutangnya, bukannya menjual hutangnya dengan potongan, maka ini akan menekan perusahaan lain untuk membayar hutang mereka. Ini pun akan menurunkan kelebihan kapasitas, membuat akuntabilitas perusahaan-perusahaan itu meningkat, dan mengembalikan dana yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Jika pemerintah tidak menutup perusahaan kehutanan yang tidak dapat membayar hutang mereka maka akan sangat sulit secara politis untuk menutupnya dikemudian hari. Mereka yang membeli hutang perusahaan ini akan berupaya mempertahankan perusahaan agar tetap dapat berusaha untuk membayar hutangnya. Kan pemerintah sendiri yang menjual hutang mereka itu.
Jika tindakan tegas tidak dilakukan maka industri kehutanan akan punah dalam 10 hingga 15 tahun mendatang. Indonesia akan kehilangan hutan alaminya dan sekaligus kesempatan kerja yang diadakannya. Perusahaan perkayuan yang bertahan akan menggantungkan pasokan kayu dari impor. Siapa pun tentunya tidak menginginkan hal ini terjadi!
Kebijakan BPPN saat ini membantu pemerintah dalam mengurangi defisit anggaran dalam jangka pendek. Namun ini akan membebani pemerintah RI dalam jangka panjang. Hilangnya hutan dan industri kehutanan akan membentuk kerusakan lingkungan yang luar biasa, menambah keresahan sosial akibat pengangguran, dan meningkatkan biaya sosial kita.
The World Bank dan IMF mendukung agar BPPN menempatkan perusahaan industri perkayuan dalam pengawasan yang tepat. Dalam pembicaraan antara CIFOR dan wakil World Bank di Indonesia, diungkapkan bahwa BPPN seharusnya menunda penjualan aset kehutanan sampai Departemen Kehutanan dalam mengimplementasikan penilaian praktek usaha kehutanan.Ini harus segera terjadi. Dari cepatnya penjualan yang dilakukan BPPN diperkirakan seluruh hutang kehutanan akan terjual pada pertengahan tahun ini.
Kita hanya bisa berharap bahwa para anggota CGI dapat melihat manfaat jangka panjang hutan dibandingkan keuntungan finansial jangka pendek. (*)