
Namun, Punan mendapat tambahan bauran genetik dari leluhur pra-Austronesia dari Asia Timur. Sementara Kenyah dan Lundayeh mendapat bauran genetik dari Kankanaey atau Igorot-Filipina yang menjadi salah satu penciri penutur Austronesia. ”Berbeda dengan Dayak, Punan tidak memiliki bauran genetik Austronesia,” kata Pradiptajati.
Tiadanya DNA Austronesia ini membuat orang Punan tetap mengembangkan budaya hidup berpindah-pindah sebagai pemburu dan peramu di hutan-hutan Kalimantan. Mereka tidak terpapar dengan budaya bercocok tanam yang dibawa oleh penutur Austronesia, yang mendominasi sebagian besar komposisi penduduk di Indonesia bagian tengah dan barat.
”Dari data genetik ini, kita bisa melihat bahwa tradisi berburu dan meramu orang Punan ini sudah sangat tua dan tidak ada tanda mereka pernah menjadi petani sebelunya. Kemungkinan, mereka adalah kelompok pemburu dan peramu awal di Nusantara yang masih bertahan karena luasnya hutan Kalimantan di masa lalu,” kata Pradiptajati.
Sensus yang dilakukan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 2003-2004 menemukan adanya 8.956 orang Punan di Kalimantan Timur, yang waktu itu belum mekar menjadi Kalimantan Utara. Dalam laporan survei itu disebutkan, survei saat itu mencangkup 90 persen populasi Punan di Kalimanan Timur, kecuali kelompok yang terisolasi di hutan yang diduga masih ada, yaitu Punan Batu dan Basap.