Media coverage

Each year, CIFOR’s research and scientists are mentioned in over 1,500 news stories by local and international media outlets worldwide. Find the latest here, with over a decade of archives.


Bom Waktu: Api yang Menghancurkan Habitat Harimau dan Gajah Sumatera

Kebakaran hutan yang seperti mengamuk di musim kemarau di Indonesia, pada September dan Oktober, telah menyebabkan kerusakan bahkan di kawasan lindung. Dampak kebakaran yang sangat merusak di Sumatera Selatan, telah membakar sekitar delapan persen Taman Nasional Sembilang, menurut data satelit dan pengamat setempat.

Kebakaran juga dilaporkan merusak habitat gajah di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Sebokor, yang terletak di tenggara Sembilang dan berfungsi sebagai koridor gajah liar di Sumatera Selatan.

Sebuah laporan memperkirakan, setengah dari wilayahnya mengalami kerusakan akibat kebakaran. Karena gajah di Sumatera Selatan memiliki jangkauan luas, sulit untuk menentukan dengan tepat bagaimana dampak terkini populasinya.

Seperti halnya Sembilang, Padang Sugihan mengalami masalah terkait pengeringan lahan gambut dan perambahan hutan oleh industri dan masyarakat. Di masa lalu, sebagian besar telah dilindungi, bahkan dengan anggaran terbatas untuk konservasi, menurut Michael Allen Brady, pimpinan ilmuwan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional [CIFOR].

Namun, perlindungan ini tidak membantu mencegah kebakaran yang merusak hutan tahun ini.

“Kami dapat memastikan, ada banyak kebakaran di Padang Sugihan dua bulan terakhir,” kata Brady.

“Salah satu alasannya, pembakaran yang sering terjadi karena mereka menggali saluran tersebut melalui tujuh kanal utama, dan ratusan kanal tersier,” katanya. “Yang juga ditebang tahun 70-an dan dikonversi menjadi lahan transmigrasi dan kemudian mereka memutuskan untuk tidak mengembangkannya dan mengembalikannya ke Kementerian Kehutanan. Sayangnya, mereka mengeringkannya tetapi mereka belum menebangi hutan, dan hutan gambut yang sudah dikeringkan itu pada dasarnya bom waktu.”

Setelah daerah tersebut ditetapkan sebagai suaka margasatwa, militer menggiring gajah ke daerah tersebut awal 1980-an dan pemerintah menyatakan suaka tersebut sebagai habitat gajah. Brady mengatakan bahwa setelah ini, pemerintah menunjuk unit manajemen untuk gajah, membangun kompleks perkantoran di perbatasan taman nasional dan mendorong kunjungan publik, tetapi situasi “telah memburuk” dalam beberapa tahun terakhir ke titik unit tersebut tidak lagi berfungsi.

“Sayangnya, tidak ada pemantauan sistematis terhadap populasi [gajah] di cagar alam, tetapi jelas populasi itu telah berubah dari sekitar 400 menjadi sekitar selusin,” kata Brady.

Yusuf Samsudin, spesialis gajah CIFOR, setuju: “Polisi setempat mengatakan hanya ada sekitar 12 individu tersisa sekarang.”
Read more on Mongabay